Resensi Buku Novel Hujan Bulan Juni
Judul
Buku : Hujan Bulan Juni
Penulis
: Sapardi Djoko
Damono
Penerbit
: Gramedia Pustaka
Utama
Tahun
Terbit : 2017
Tempat
Terbit : Jakarta
Jumlah
Halaman : 135
Novel
Hujan Bulan Juni ini di tulis oleh sastrawan terkenal bernama Sapardi Djoko
Damono. Beliau lahir di Solo, 20 Maret 1940. Saat ini berprofesi sebagai guru
besar pension Universitas Indonesia (sejak 2005) dan guru besar tetap pada
pasca sarjana Institut Kesenian Jakarta (2009). Selain buku Hujan Bulan Juni,
beliau juga sudah menerbitkan banyak sekali buku puisi antara lain Mata Pisau
(1974), Akuarium (1974), duka-Mu abadi (1979), Perahu Kertas (1984), Sihir
Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat Ayat Api (2000),
Mata Jendela (2001), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), Kolam (2009),
Namaku Sita (2012), dan Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012). Sementara
buku fiksinya berjudul Pengarang Telah Mati (2001), Membunuh Orang Gila (2003),
Sup Gibran (2011), Pengarang Belum Mati (2011), Pengarang Tak Pernah Mati
(2011), Pada Suatu Hari Nanti / Malam Wabah (2013), Jalan Lurus (2014), dan
Arak Arakan (2014).
Sinopsis
: Sarwono dan Pinkan, dua orang yang saling mencintai namun statusnya tidak pernah
jelas. Sarwono suka membuat puisi, sementara Pinkan suka mengomentari puisi
Sarwono. Namun Sarwono tak pernah marah, sebab setiap kata yang diucapkan
Pinkan selalu membuatnya senang. Mereka memiliki pemikiran yang berbeda, agama
yang dianut pun berbeda. Sarwono yakin, bila Pinkan adalah takdir untuk menjadi
jodohnya. Suatu saat, Pinkan pergi ke Jepang untuk menuntut ilmu, sebenarnya
Sarwono tak masalah dengan hal itu. Yang menjadi masalahnya adalah Pinkan di
Jepang akan sering bertemu Katsuo, orang yang menyukai Pinkan saat di
Indonesia. Semua kegundahan dan kerinduan Sarwono terkisahkan dengan baik,
bahkan Sarwono menuliskan banyak puisi untuk Pinkan.
Tema
yang di tampilkan dalam buku ini adalah mengenai perbedaan, seperti Sarwono
orang Jawa asli yang memiliki banyak sekali pakem. Sementara Pinkan, bisa
disebut orang Jawa ataupun Manado. Sebab orang tua Pinkan berasal dari Manado
dan Jawa. Tetapi Sarwono tetap mengaggap Pinkan orang Jawa, meskipun nama
Pinkan sendiri berasal dari Manado. Unsur percintaan juga tergambar jelas
disini, meskipun saya tidak begitu merasakannya. Cerita ini menggunakan alur
maju, sehingga pembaca mudah memahami alur ceritanya. Tetapi di bagian akhir,
saya kesulitan menentukan apakah itu alur maju atau mundur.
Kelebihan
buku ini adalah pada penulisan cerita, penulis dapat membuat cerita yang penuh
dengan kalimat kiasan dan puitis sehingga pembaca dapat berandai andai. Poin
ini juga menjadi nilai plus dalam menambahkan kesan romantis pada cerita ini.
Lalu di akhir cerita, penulis menyisipkan tiga buah puisi yang dibuat Sarwono
untuk Pinkan. Sehingga pesan “rindu Sarwono” benar benar tersampaikan.
Kekurangan
buku ini ada pada bahasanya, terkadang penulis memberikan bahasa kiasan yang
terlalu sulit dimengerti oleh saya, sehingga saya harus berpikir agar dapat
memahaminya. Alur yang dipakai juga terlalu cepat, makanya saya tidak merasakan
percintaannya. Banyak terdapat kalimat daerah seperti, Pakem, Sontoloyo dan
lain lain yang membuat saya bingung.
Buku
ini di rekomendasikan untuk remaja ke atas yang sedang mengalami jatuh cinta,
anak anak tidak boleh membaca buku ini, karena mereka tidak akan paham dengan
alur dan bahasanya.
Sumber gambar : https://www.gramedia.com/api/amp/product/hujan-bulan-juni-sebuah-novel/
Comments
Post a Comment